Aku
Di(Mas)Aku
Muhamad
Hasan
ejak
aku dilahirkan pada 1919, yang kuingat hanya umurku yang sekitar sepuluh tahun.
Ketika fajar tiba dan menelanjangi alam, hingga melucuti perniagaan malam. Aku harus selangkah lebih awal dari mereka,
itu yang terpikir olehku diakhir malam.
Pasukan lengkap bersenjata. Yah, yang sedang mencari kekuasaan.
Entah mereka berasal dari mana. Bersembunyi di balik gundukan tanah dan
alang-alang berduri, selalu menjadi saksi setiap pagi. Entah ke mana lagi, jika aku di sana atau seekor kambing ini
tertangkap, apalah dayaku harus ikut menjadi tawanan kerja paksa mereka, mungkin seperti itu. Hingga aku lupa
kapan kebiasaan ini aku mulai.
“Aku semakin tidak percaya dengan
keadaanku, Peng, besok atau nanti kita masih bisa berteduh dan menikmati
suasana seperti ini lagi tidak, ya?” Gepeng masih saja tak memedulikan
ucapanku, menikmati rumput liar di galengan
sawah.
Senyuman itu sering bertemu denganku,
berlari dan berpetualang di mana
pun kami berada. Sesekali aku menggenggam tangannya dan berlari, atau
bertahan untuk melindungi dan berkelahi. Siapa yang berani melawanku? Aku
seperti menggunakan susuk sekilan, siapa
yang me-mukulku dan menyakitiku, aku tidak pernah merasakannya. Senyuman itu ke
mana?
“Kun...
ayo balik. Sudah sore ini” Mata yang sejak tadi terpejam seketika terbuka.
“Hem...
lagi meh ngimpi, kok yo mbok selo
Wik-Wik...”
“Aku
opo yo ngerti yen kowe ki meh ngimpi to, Kun, emang yen meh ngimpi krasa to?”
”yaudah,
ayo bali!” diambilnya dadung yang tertancap dengan bambu di tanah, “Peng, balik.”
Dalam perjalanan kembali ke desa,
jalan begitu suram dengan kekhawatiran. Kami lebih memilih lewat per-kebunan
dengan pohon-pohon besar daripada jalan. Menurut kami itu lebih aman dan kami
tidak harus saling mengawasi satu dengan yang lain.
“Wik, sebenarnya kamu tahu tidak, apa
yang aku rindukan setiap hari ketika bangun?”
“Salah... eh iya deng... hehehe tapi itu yang kesekian. Yang pertama aku ingin
tertidur kembali. Lebih nyaman dan sempurna hidup di dalam
mimpi,"celotehku hingga kami dipertemukan pada suatu sungai yang
terlintang robohan kayu. Aku turun untuk mengambil pasokan air untuk persediaan
rumah, “Sisan, Kun,” ucap Badui
sambil me-lemparkan botol minumnya.
“Ati-ati,
Kun,” ucap Badui di persimpangan.
“Kowe
yo ati-ati, aku mau kepikiran piye nek sesuk golek iwak?”
“Neng
ngendi?” tanya Badrun.
“Kali
mau lho.”
“Nggowo
ember cilik wae yo sesuk, oke?”
“Oke.”
Setelah aku sampai di rumah, aku
memasak air untuk Ibu-Bapak kalau pulang. Selang sebelum mendidih aku mencoba
melukiskan kembali senyuman dan cerita tadi. Aneh rasannya sembari mengingat
aku teringat pukulan sepatu pantofel, bukan pukulan tapi gojlogan yang berulang kali kuterima. Tak terasa senja yang sama,
terulang kembali.
“Tuan Putri jangan takut, tetaplah
disini bersamaku,” dengan genggaman kecil, aku berlari dengannya. Aku megingat
jelas tempat itu, tempat kesukaan Gepeng di bawah pohon menuju pedesaan.
Tiba-tiba saja dunia berganti dengan kedipan mata. Aku bersembunyi di belakang
gerobak.
“Kunduri, kamu takut?” Pertannyaan
yang tidak dapat kupungkiri. Sangat banyak tentara di sana. Sedang berjaga
tepat di depan rumahku.
“Agggh.”
Aku melompati gerobak dan merobek tentara dengan satu pukulan. Aku mengambil
senjatanya dan membidik para tentara lainnya. Kutembakan satu persatu peluru.
Semua arah bidikanku tidak ada yang meleset sama sekali. Semua tumbang.
Berulang kali aku terkena tembakan, rasannya geli, ini karena jimat sekilan yang kumiliki. Mungkin keturunan
nenek moyang, atau rahmat dari Tuhan.
“Le
tangi, Le,” gelitik Ibu,“mangan
disik.”
“Nggih
Buk.” Hanya gelap sebuah tintir dan neon yang menyinari sekitar rumah. Dengan remang-remang
seperti biasa kami berkumpul. Aku, Bapak, dan Ibu.
“Bismillah,”
suara Bapak mengawali makan malam ini.
“Pak,
sesuk aku meh golek iwak ya, Pak.”
“Ning
ngendi? Emang kaline jek enek iwake to?”
“Tesih,
teng kidul waduk enten kaline,” jelasku.
“Sing
ati-ati, kowe bocah lanang, Le, kudu iso mangerti keadaan. Lan ojo nekat-nekat
yo.”
“Nggih,
Pak, kulo ngertos.”
“Le,
kambi siji meneh. Urip saiki luwih rekoso, Ibuk gak ngerti suk mbene meneh koyo
opo. Sing tak yakini, Le, suk mben sandang pangan murah,moron menyang tonggo
wae disuguhi sembarang pangan, ngendi-ngendi wis padang, wis gak enek kulit
putih sing ngidak-ngidak awake dewe Le.” Tambahan Ibu menahan air mata yang
sudah berkaca-kaca. Perasaan Ibu begitu berat, juga Bapak. Aku tak sepenuhnya
paham, hanya meng-angguk iya.
Pagi ini aku bangun kembali, yang
membuatku kecewa adalah Bapak dan Ibu sudah tidak ada di kamarnya. Bukan. Bukan
itu, semalam aku bermimpi apa? Pembicaraan semalam dengan Bapak sampai di mana?
Sudahlah. Aku harus bergegas, sebelum fajar mengetahui bahwa aku di dalam
rumah. Dengan membawa si Gepeng dan ember, aku berjalan menuju sungai.
Dalam perjalanan, Gepeng terlihat
gelisah, begitu pula denganku. Kuikatkan tali dadung ke sebuah pohon lalu aku
duduk di samping batu. Selagi menunggu Badui datang, kusempatkan untuk
mengunjungi Tuan Putri sebentar.
“Dor...” mataku melolok terbuka
lebar, suaranya begitu berisik.
“Hahahaa.” Aku sangat marah,
tertawannya Badui sangat lepas. Tidak lucu. Walau umurku lebih muda darinya aku
sangat begitu ingin membalasnya.
“Semprul,
nyoh.. hahaha,” balasku sambil mendorongnya terjun bebas ke sungai dan
membuatku tertawa lepas seperti yang Badui lakukan. Basah kuyup semua tubuhnya,
tetapi entah kenapa aku merasa bahagia.
“Ayo mulai newu,”
lanjutku mengajak Badui meng-eksekusi pencarian ikan.
Kami membuat bendungan air, begitu
banyak ikan di sini. Baru ini kami menemukan ikan sebanyak ini. Hampir satu
ember kami mendapatkan ikan. Rasannya menyenangkan. Kita saling berdiskusi
tentang makanan malam hari ini. Aku sanggup membaca pikiran Badui tentang hasil
tangkapan ikan hari ini. Makan malam bersama keluarga. Ya, mungkin tidak jauh
denganku.
“Ayo kita masak ikan ini di
rumahmu.”
“Daginge gede-gede iki mengko... mangan enak
dino iki... yuhuu...”
“Ssstttt,” Badui
menyela dan mendorongku di balik gundukan tanah dan batu besar. Banyak pesawat
cepat melesat, sesekali terdengar suara tembak. Hal ini pernah kudengar. Tempo
detak nadiku sekejap berubah.
“Diam!”
“Kita mungkin aman
di sini. Kita pulang nanti. Tunggu sampai senja tiba. Sekiranya belum aman.
Terpaksa malam. Kun?” Badui berbicara apa. Seakan-akan aku lemah. Sampai kapan
aku bisa berdiam dalam diriku ini.
“Kun?”
“Iya”, suaraku begitu pelan. Bahkan
hanya telingaku yang mendengar. Aku lagi-lagi hanya mengangguk. Untuk
mengumpulkan kepalan pun aku terlalu gemetar. Rasannya hanya mimpi. Iya hanya
mimpi yang membuatku kuat.
“Aku ngantuk.”
“tidurlah dulu Kun”.
Entah mengapa aku belum dapat berpikir apa yang akan kuperbuat selain tidur.
Dalam pejaman mata aku membayangkan ketika kita tertangkap, akulah yang pertama
menjadi pembunuh mereka.
Tibalah senja. Suara Garengpung
bersahut-sahutan. Melepas gairahnya mengikat satu sama yang lainnya. Aku
tiba-tiba teringat cerita Ibu. Mereka saling memberi sinyal kepada teman-temannya
untuk menjalin asmara. Ingin juga aku memberi sinyal kepada Bapak dan Ibu agar
datang dan menenangkanku.
“Kun, wis tangi to..? Ayo balik.”
“Aduh iwak’e mati kabeh, Wik,” sambungku
sembari bersiap-siap.
Kita sampai juga di
rumah. Genteng yang bolong bertambah banyak. Aku yang mempersiapkan api, dan
segala perabotan masak menyibukkan diri mengambili peluru bekas tembakan yang
masih terlihat.
“Kun... korek apimu
ndi?”
“Oh... yo, tak jipukne
sik.””
“Bapak Ibukmu mulih wengi terus yo?” tanya Badui selagi memasak ikan.
“Iya Wik,
bar iki mungkin aku turu meneh trus wengine digugah Ibuk trus mangan bareng,” jawabku
sambil menunggu masakan matang yang sedang diangkat ke piring gembreng.
“Weh... lumayan enak yo,” ucapku sambil
mencicipi kelezatan masakan sendiri.
“Wo... dipangan disik,” tegurnya, sambil
menaruh secuil ikan kedalam mulutnya.
“Hahaha.” Kita
tertawa bersama.
Hari mulai malam.
Kita saling berjabat tangan, salam, dan Badui pergi untuk pulang. Aku pergi ke
dalam rumah, menyalakan neon dan tintir.
Dan aku mulai merindukan kembali perjalananku untuk malam ini. Suara kesunyian
malam ini berbeda, suara kebisingan gareng dan jangkrik seakan lenyap.
Badui, Tuan Putri,
dan banyak orang di dekatku. Bercanda tawa. Kemudian suasana itu hilang. Semua berlari.
Melindungi diri dari gencatan senjata yang keluar. Aku tidak bisa berlari.
Melainkan terbang ke angkasa. Aku memiliki sayap yang begitu menawan. Aku
kembali turun dan menggengam Tuan Putri. Ia terdiam memeluk pundakku. Sesekali
aku berlari memukul, mengambil senjata dan membidik teman-temannya. Kali ini
aku merasa sempurna sebab tidak ada rasa takut di dalam diriku. Satu per satu
pertahanan mereka runtuh. Teman-temanku tersenyum, Badui juga bersemangat
menghajar mereka. Perang kepah-lawanan dimulai. Mereka mengeluarkan tembak yang
bisa berjalan sendiri. Kilatan api yang besar. Meng-hancurkan rumah dan tanah.
Api itu datang kepadaku. “Maafkan aku, aku akan melepaskanmu. Ber-tahanlah.”
Sekejap mataku
terbelalak. Untung hanya mimpi. Keringatku
tidak dapat tertahan, semua membanjiri tubuh dan pakaian. Sembari aku keluar
kamar untuk minum. Kenapa begitu sepi?
“Pak..., Buk...,”
aku berusaha mencari mereka. Di kamar, dan di sekitar rumah tidak kutemukan.
Hatiku mulai gelisah karenanya. Aku menunggu mereka di ruang tengah, ter-mangu,
tersinarilah sepercik keringat dari remang cahaya gantung yang akhirnya jatuh
ke tanah.
Kejadian
tadi siang merupakan beberapa pekan kejadian Wahyu dan keluarganya meninggal.
Hingga itu terjadi, aku tidak akan memaafkan mereka.
Sela-sela pikiranku ter-pecah-pecah. Hingga aku menangis dan tak sadarkan diri.
Pagi ini aku
mengendap-endap keluar, membawa Gepeng pergi. Bersembunyi di balik gundukan
tanah dan alang-alang liar. Berharap fajar tak dapat menemukanku. Aku
melihat-lihat di sekeliling rumah. Sepi, kicau pun tak dapat kudengar. Akankah Ibu-Bapak akan datang?
Akankah
aku sendiri
Kenapa
kalian tega
Yang
ini bukannya apa-apa, karena aku tahu
Aku
masih akan menghadapi
Kebiasaanku,
mungkin
Seribu
kali dalam mimpiku
Kematian
yang tak berujung menemuimu
(ilustrasi
1919, Kunduri)
(-*****-)