Kamis, 26 Oktober 2017

Lobi Kotaku

tentaber

disepanjang jalan
kutemui karya-karya manusia
bukan manusia
seperti Aku
terciptakan dari doa-doa asing yang membisu.
dalam pengaminan anak-anak dan cucuku

dipangkuanku
kini...
membekas pilu ratusan buyut
menyunggi ribuan kayu yang tergilas oleh batu-batu
seperti Aku
di dalam ruang
yang tertancap timah beku
tanpa sepengetahuanku
hingga lobiku
sepenuhnya gelap
seperti liang-liang
tidak seperti Aku dan
kota impian
tinggal
lobi sepi ini

Solo, 26 Oktober 2017

Senin, 12 Juni 2017

Cerpen yang diilhami dari cerita sang kakek yang sekarang berusia 98 tahun



Aku Di(Mas)Aku
Muhamad Hasan

S
ejak aku dilahirkan pada 1919, yang kuingat hanya umurku yang sekitar sepuluh tahun. Ketika fajar tiba dan menelanjangi alam, hingga melucuti perniagaan malam. Aku harus selangkah lebih awal dari mereka, itu yang terpikir olehku diakhir malam.
Pasukan lengkap bersenjata. Yah, yang sedang mencari kekuasaan. Entah mereka berasal dari mana. Bersembunyi di balik gundukan tanah dan alang-alang berduri, selalu menjadi saksi setiap pagi. Entah ke mana lagi, jika aku di sana atau seekor kambing ini tertangkap, apalah dayaku harus ikut menjadi tawanan kerja paksa mereka, mungkin seperti itu. Hingga aku lupa kapan kebiasaan ini aku mulai.
“Aku semakin tidak percaya dengan keadaanku, Peng, besok atau nanti kita masih bisa berteduh dan menikmati suasana seperti ini lagi tidak, ya?” Gepeng masih saja tak memedulikan ucapanku, menikmati rumput liar di galengan sawah.
Senyuman itu sering bertemu denganku, berlari dan berpetualang di mana pun kami berada. Sesekali aku menggenggam tangannya dan berlari, atau bertahan untuk melindungi dan berkelahi. Siapa yang berani melawanku? Aku seperti menggunakan susuk sekilan, siapa yang me-mukulku dan menyakitiku, aku tidak pernah merasakannya. Senyuman itu ke mana?
Kun... ayo balik. Sudah sore ini” Mata yang sejak tadi terpejam seketika terbuka.
Hem... lagi meh ngimpi, kok yo mbok selo[1] Wik-Wik...”
Aku opo yo ngerti yen kowe ki meh ngimpi to, Kun, emang yen meh ngimpi krasa to?”
yaudah, ayo bali!” diambilnya dadung yang tertancap dengan bambu di tanah, “Peng, balik.”
Dalam perjalanan kembali ke desa, jalan begitu suram dengan kekhawatiran. Kami lebih memilih lewat per-kebunan dengan pohon-pohon besar daripada jalan. Menurut kami itu lebih aman dan kami tidak harus saling mengawasi satu dengan yang lain.
“Wik, sebenarnya kamu tahu tidak, apa yang aku rindukan setiap hari ketika bangun?”
Londo kirik[2] wis mati?”
“Salah... eh iya deng... hehehe tapi itu yang kesekian. Yang pertama aku ingin tertidur kembali. Lebih nyaman dan sempurna hidup di dalam mimpi,"celotehku hingga kami dipertemukan pada suatu sungai yang terlintang robohan kayu. Aku turun untuk mengambil pasokan air untuk persediaan rumah, “Sisan, Kun,” ucap Badui sambil me-lemparkan botol minumnya.
Ati-ati, Kun,” ucap Badui di persimpangan.
Kowe yo ati-ati, aku mau kepikiran piye nek sesuk golek iwak[3]?
Neng ngendi?” tanya Badrun.
Kali mau lho.
Nggowo ember cilik wae yo sesuk, oke?”
“Oke.”
Setelah aku sampai di rumah, aku memasak air untuk Ibu-Bapak kalau pulang. Selang sebelum mendidih aku mencoba melukiskan kembali senyuman dan cerita tadi. Aneh rasannya sembari mengingat aku teringat pukulan sepatu pantofel, bukan pukulan tapi gojlogan yang berulang kali kuterima. Tak terasa senja yang sama, terulang kembali.
“Tuan Putri jangan takut, tetaplah disini bersamaku,” dengan genggaman kecil, aku berlari dengannya. Aku megingat jelas tempat itu, tempat kesukaan Gepeng di bawah pohon menuju pedesaan. Tiba-tiba saja dunia berganti dengan kedipan mata. Aku bersembunyi di belakang gerobak.
“Kunduri, kamu takut?” Pertannyaan yang tidak dapat kupungkiri. Sangat banyak tentara di sana. Sedang berjaga tepat di depan rumahku.
Agggh.” Aku melompati gerobak dan merobek tentara dengan satu pukulan. Aku mengambil senjatanya dan membidik para tentara lainnya. Kutembakan satu persatu peluru. Semua arah bidikanku tidak ada yang meleset sama sekali. Semua tumbang. Berulang kali aku terkena tembakan, rasannya geli, ini karena jimat sekilan yang kumiliki. Mungkin keturunan nenek moyang, atau rahmat dari Tuhan.
Le[4] tangi, Le,” gelitik Ibu,“mangan disik.”
“Nggih Buk.” Hanya gelap sebuah tintir dan neon yang menyinari sekitar rumah. Dengan remang-remang seperti biasa kami berkumpul. Aku, Bapak, dan Ibu.
Bismillah,” suara Bapak mengawali makan malam ini.
Pak, sesuk aku meh golek iwak ya, Pak.”
Ning ngendi? Emang kaline jek enek iwake to?”
Tesih, teng kidul waduk enten kaline,” jelasku.
Sing ati-ati, kowe bocah lanang, Le, kudu iso mangerti keadaan. Lan ojo nekat-nekat yo.
Nggih, Pak, kulo ngertos[5].
Le, kambi siji meneh. Urip saiki luwih rekoso, Ibuk gak ngerti suk mbene meneh koyo opo. Sing tak yakini, Le, suk mben sandang pangan murah,moron menyang tonggo wae disuguhi sembarang pangan, ngendi-ngendi wis padang, wis gak enek kulit putih sing ngidak-ngidak awake dewe Le.” Tambahan Ibu menahan air mata yang sudah berkaca-kaca. Perasaan Ibu begitu berat, juga Bapak. Aku tak sepenuhnya paham, hanya meng-angguk iya.
Pagi ini aku bangun kembali, yang membuatku kecewa adalah Bapak dan Ibu sudah tidak ada di kamarnya. Bukan. Bukan itu, semalam aku bermimpi apa? Pembicaraan semalam dengan Bapak sampai di mana? Sudahlah. Aku harus bergegas, sebelum fajar mengetahui bahwa aku di dalam rumah. Dengan membawa si Gepeng dan ember, aku berjalan menuju sungai.
Dalam perjalanan, Gepeng terlihat gelisah, begitu pula denganku. Kuikatkan tali dadung ke sebuah pohon lalu aku duduk di samping batu. Selagi menunggu Badui datang, kusempatkan untuk mengunjungi Tuan Putri sebentar.
“Dor...” mataku melolok terbuka lebar, suaranya begitu berisik.
“Hahahaa.” Aku sangat marah, tertawannya Badui sangat lepas. Tidak lucu. Walau umurku lebih muda darinya aku sangat begitu ingin membalasnya.
Semprul, nyoh.. hahaha,” balasku sambil mendorongnya terjun bebas ke sungai dan membuatku tertawa lepas seperti yang Badui lakukan. Basah kuyup semua tubuhnya, tetapi entah kenapa aku merasa bahagia.
“Ayo mulai newu[6],” lanjutku mengajak Badui meng-eksekusi pencarian ikan.
Kami membuat bendungan air, begitu banyak ikan di sini. Baru ini kami menemukan ikan sebanyak ini. Hampir satu ember kami mendapatkan ikan. Rasannya menyenangkan. Kita saling berdiskusi tentang makanan malam hari ini. Aku sanggup membaca pikiran Badui tentang hasil tangkapan ikan hari ini. Makan malam bersama keluarga. Ya, mungkin tidak jauh denganku.
“Ayo kita masak ikan ini di rumahmu.”   
Daginge gede-gede iki mengko... mangan enak dino iki... yuhuu...
“Ssstttt,” Badui menyela dan mendorongku di balik gundukan tanah dan batu besar. Banyak pesawat cepat melesat, sesekali terdengar suara tembak. Hal ini pernah kudengar. Tempo detak nadiku sekejap berubah.
“Diam!”
“Kita mungkin aman di sini. Kita pulang nanti. Tunggu sampai senja tiba. Sekiranya belum aman. Terpaksa malam. Kun?” Badui berbicara apa. Seakan-akan aku lemah. Sampai kapan aku bisa berdiam dalam diriku ini.
“Kun?”
“Iya”, suaraku begitu pelan. Bahkan hanya telingaku yang mendengar. Aku lagi-lagi hanya mengangguk. Untuk mengumpulkan kepalan pun aku terlalu gemetar. Rasannya hanya mimpi. Iya hanya mimpi yang membuatku kuat.
“Aku ngantuk.”
“tidurlah dulu Kun”. Entah mengapa aku belum dapat berpikir apa yang akan kuperbuat selain tidur. Dalam pejaman mata aku membayangkan ketika kita tertangkap, akulah yang pertama menjadi pembunuh mereka.
 Tibalah senja. Suara Garengpung bersahut-sahutan. Melepas gairahnya mengikat satu sama yang lainnya. Aku tiba-tiba teringat cerita Ibu. Mereka saling memberi sinyal kepada teman-temannya untuk menjalin asmara. Ingin juga aku memberi sinyal kepada Bapak dan Ibu agar datang dan menenangkanku.
“Kun, wis tangi to..? Ayo balik.
Aduh iwak’e mati kabeh, Wik,” sambungku sembari bersiap-siap.
Kita sampai juga di rumah. Genteng yang bolong bertambah banyak. Aku yang mempersiapkan api, dan segala perabotan masak menyibukkan diri mengambili peluru bekas tembakan yang masih terlihat.
“Kun... korek apimu ndi?
Oh... yo, tak jipukne[7] sik.”
Bapak Ibukmu mulih wengi terus yo?” tanya Badui selagi memasak ikan.
“Iya  Wik, bar iki mungkin aku turu meneh trus wengine digugah Ibuk trus mangan bareng,” jawabku sambil menunggu masakan matang yang sedang diangkat ke piring gembreng.
Weh... lumayan enak yo,” ucapku sambil mencicipi kelezatan masakan sendiri.
Wo... dipangan disik,” tegurnya, sambil menaruh secuil ikan kedalam mulutnya.
“Hahaha.” Kita tertawa bersama.
Hari mulai malam. Kita saling berjabat tangan, salam, dan Badui pergi untuk pulang. Aku pergi ke dalam rumah, menyalakan neon dan tintir. Dan aku mulai merindukan kembali perjalananku untuk malam ini. Suara kesunyian malam ini berbeda, suara kebisingan gareng dan jangkrik seakan lenyap.
Badui, Tuan Putri, dan banyak orang di dekatku. Bercanda tawa. Kemudian suasana itu hilang. Semua berlari. Melindungi diri dari gencatan senjata yang keluar. Aku tidak bisa berlari. Melainkan terbang ke angkasa. Aku memiliki sayap yang begitu menawan. Aku kembali turun dan menggengam Tuan Putri. Ia terdiam memeluk pundakku. Sesekali aku berlari memukul, mengambil senjata dan membidik teman-temannya. Kali ini aku merasa sempurna sebab tidak ada rasa takut di dalam diriku. Satu per satu pertahanan mereka runtuh. Teman-temanku tersenyum, Badui juga bersemangat menghajar mereka. Perang kepah-lawanan dimulai. Mereka mengeluarkan tembak yang bisa berjalan sendiri. Kilatan api yang besar. Meng-hancurkan rumah dan tanah. Api itu datang kepadaku. “Maafkan aku, aku akan melepaskanmu. Ber-tahanlah.”
Sekejap mataku terbelalak. Untung hanya mimpi. Keringatku tidak dapat tertahan, semua membanjiri tubuh dan pakaian. Sembari aku keluar kamar untuk minum. Kenapa begitu sepi?
“Pak..., Buk...,” aku berusaha mencari mereka. Di kamar, dan di sekitar rumah tidak kutemukan. Hatiku mulai gelisah karenanya. Aku menunggu mereka di ruang tengah, ter-mangu, tersinarilah sepercik keringat dari remang cahaya gantung yang akhirnya jatuh ke tanah.  
Kejadian tadi siang merupakan beberapa pekan kejadian Wahyu dan keluarganya meninggal. Hingga itu terjadi, aku tidak akan memaafkan mereka. Sela-sela pikiranku ter-pecah-pecah. Hingga aku menangis dan tak sadarkan diri.
Pagi ini aku mengendap-endap keluar, membawa Gepeng pergi. Bersembunyi di balik gundukan tanah dan alang-alang liar. Berharap fajar tak dapat menemukanku. Aku melihat-lihat di sekeliling rumah. Sepi, kicau pun tak dapat kudengar. Akankah Ibu-Bapak akan datang?
Akankah aku sendiri
Kenapa kalian tega
Yang ini bukannya apa-apa, karena aku tahu
Aku masih akan menghadapi
Kebiasaanku, mungkin
Seribu kali dalam mimpiku
Kematian yang tak berujung menemuimu

(ilustrasi 1919, Kunduri)
(-*****-)


[1] Selo dari bagasa daerah, maksudnya ganggu kk
[2] Kirik artinnya anjing
[3] Ikan di sungai
[4] Le ialah panggilan anak untuk laki-laki
[5] Tahu atau mengerti
[6] menguras
[7] ambilkan
 

Minggu, 21 Mei 2017

Malam Setiap Urusan





Rembulan dan bintang begitu padang bersinar
Adipati Yang Maha Sempurna
Tampak diujung Semesta
Angin, pohon dan semuanya bersuara
Menantikan datang bergantinya malam
Penuh dengan ampunan

Segala urusanku dan yang serupa
Menanggali akan datangnya sang puspa
Sungguh
Lapar, haus, dan nafsuku hanya kembali
Padaku, atas yang tertimang

Pada siapa yang terbelenggu
Tidak lain juga aku
Pada malam penuh puja dan penghapusan
Putihkan setiap jiwa yang menundukkan kepala
Ketika malam penantian telah usai
Tetapkanlah

Abdiku pada sang dari segala Maha
Peneguhan sanubari untuk masa
Tanah semakin tandus ke atas
Lepas sudah hari perayaan dendam bulan silam
Tidak!
Kembalikan mereka pada kesucian bulan
Terang untuk masa yang akan datang

Tentara Bersayap. Surakarta, 17 Mei 2017

Kamis, 09 Februari 2017


merindu dalam diam 
melamun dalam keheningan 
saat engkau tamatkan pandanganmu ketika aku mulai merangkainnya
saat engkau usaikan bacaanmu ketika aku mulai merumuskan
titipan kata ketika di utarakan
sepeninggalan jejak ketika di ukirkan
hal yang tak dapat aku dapatkan
hal yang telah ku rasakan yang mungkin dapat terulang

panca.. semua berbicara dengan sendirinya

kerinduan yang menjadi penyesalan
lamunan yang hanya menjadi kesengsaraan
kegelisahan ketika pandanganku tak terbalaskan
berdiam tanpa arah dan tujuan
berbicara yang berbuah kepedihan
waktu yang berjalan hanya menyisakan luka
tak tik tuk dengan aroma yang sama
hanya menggeleng dan meronta

Tentara Bersayap